Politik
Primordialisme ala NTT
PADA 20
Desember 2012 lalu, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berusia 54 tahun.
Pembangunan gencar dilakukan. Ada keberhasilan. Ada pula kegagalan.
Keberhasilan dipertahankan dan ditingkatkan. Sedangkan kegagalan diperbaiki. Itulah
dinamika pembangunan di NTT.
Kemajuan
dan kegagalan pembangunan di NTT terkait erat dengan perilaku para elit dan
masyarakat itu sendiri. Para elit, khususnya para pemimpin eksekutif, mulai
dari gubernur, bupati/walikota sampaii Ketua RT/RW, cenderung mempraktikkan
primordialisme. Primordialisme yang paling kentara, diterima dan diakui sah
secara diam-diam adalah primordialisme agama dan suku.
Ilustrasi |
Jika
dihitung-hitung, masyarakat NTT mayoritas beragama Kristen (Katolik dan
Protestan). Lainnya Muslim, Hindu dan Budha. Sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), propinsi ini dikenal sebagai propinsi
kepulauan. Sering pula propinsi ini disebut Indonesia mini. Sebab, propinsi ini
memiliki 556 pulau. Ada yang sudah dihuni, ada yang belum dihuni.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan, para elit propinsi ini
cenderung memberi perhatian lebih pada pemimpin-pemimpin atau figur-figur
Kristen (Katolik dan Protestan). Kalau
pemimpin atau gubernur dan bupati/walikotanya beragama Katolik, pejabat di
bawahnya juga beragama Katolik, demikian juga kalau gubernurnya beragama
Protestan. Pada masa belum ada wakil gubernur, kalau gubernur beragama Katolik,
sekretaris daerahnya beragama Protestan,, atau sebaliknya.
Sedangkan
figur yang beragama Muslim, Hindu dan Budha tidak dihiraukan. Warga Muslim
hanya menjadi ban lasereb. Cukup mendukung dan memilih pemimpin sesuai
keinginan elit partai dan para sesepuh warga Muslim. Istilahnya, pilih tidak
pilih sama saja. Suka tidak suka harus suka. Siapa pun pemimpinnya, warga
Muslim cari makan sendiri. Demikian juga
warga NTT yang beragama Hindu dan Budha.
Primordialisme
suku terlihat juga di NTT. Kalau
gubernur berasal dari Flores, wakil gubernur disesuaikan saja: Rote/Sabu atau
Timor. Praktik politik yang terlihat di depan mata, hingga saat ini NTT yang
sudah berusia 54 tahun, belum pernah ada gubernur yang berasal dari Timor.
Mantan Gubernur NTT periode 1958-1968 Elias Tari berasal dari Rote, WJ
Lalamentik periode 1968-1978 dari Sabu, Ben Mboi dari Flores/Manggarai periode
1978-1988, Hendrikus Fernandez dari Flores/Flores Timur periode 1988-1993,
Herman Musakabe dari Flores/Ngada periode 1993-1998, Piet Tallo periode
1998-2008 dari Sabu, dan Frans Lebu Raya periode 2008-2013 dari Flores/Flores
Timur.
Untuk
periode 2013-2018, saat ini NTT sedang
siap-siap memilih. Bila tidak ada rintangan, pemilihan Gubernur NTT periode 2013-2018
akan dilakukan pada 18 Maret 2013.
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernurnya dari mana dan beragama
apa, belum tahu. Yang jelas, dari lima calon gubernur yang sudah ditetapkan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi NTT pada 31 Januari 2013, tiga di
antaranya berasal dari Flores dan beragama Katolik, yakni Frans Lebu Raya,
Christian Rotok dan Benny Kabur Harman. Sedangkan Ibrahim Agustinus Medah dan
Esthon Leyloh Foenay beragama Protestan. Frans, Chris dan Benny berasal dari Flores.
Sedangkan Medah dari Rote dan Esthon dari Timor.
Untuk calon
wakil gubernur, ada tiga orang, yakni Benny Litelnoni yang berpasangan dengan
Frans Lebu Raya, Abraham Liyanto yang berpasangan dengan Christian Rotok, dan
Willem Nope yang berpasangan dengan Benny Kabur Harman. Ketiga calon wakil
gubernur ini beragama Protestan, sama-sama berasal dari Timor. Sedangkan dua
calon wakil gubernur lainnya, yakni Emanuel Melkiades Laka Lena dan Paul
Edmundus Tallo. Keduanya beragama Katolik dan berasal dari Flores.
Dalam
sejarah NTT, baru kali ini figur Timor yang terepresentasi melalui Esthon
Foenay muncul sebagai calon gubernur. Padahal, ibukota propinsi ini di Timor,
tepatnya di Kupang. Bahkan, Kupang selain menjadi ibukota propinsi, juga
ibukota Kota Kupang. Pernah pula menjadi
ibukota Kabupaten Kupang. Sebagai iibukota Kota Kupang, Kabupaten Kupang
dan Propinsi NTT, Kupang menjadi pusat aktivitas semua kegiatan politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Banyak suku
dari seluruh Indonesia hidup makan minum di tanah Timor. Tetapi, orang Timor
justru terdiskriminasi di kampung halamannya sendiri. Kadang istilah Timor
diplesetkan menjadi Tanah Ini Milik Orang Rote.
Di berbagai
lingkungan masyarakat Kota Kupang, orang Timor sering dikenai stigma:
Timor kouk, Timor bodoh. Stigma dan
plesetan-plesetan seperti itu, menurut Pembantu Rektor IV Universitas Nusa
Cendana (Undana) Kupang Ir Fabian Harry
Lawalu, diadopsi sebagian masyarakat NTT dari penjajah Portugal dan Belanda.
Stigma dan
plesetan-plesetan itu kemudian
diperparah dengan egoisme berlebihan sebagian masyarakat NTT melalui
primordialisme suku dan agama. “Sikap primordial itu baik karena lebih pada
identitas diri, misalnya sebagai orang Timor, orang Flores, orang Rote atau
orang Sumba dan Alor. Tetapi, primordialisme justru lebih mengutamakan atau
menjadikan diri segala-galanya dengan tidak menghargai, menerima dan menghargai
orangg lain”, kata Harry.
Primordialisme
itu baik atau buruk, sangat ditentukan pribadi orang per orang, terutama para
pemimpin. Karena itu, NTT sebetulnya sangat mengharapkan pemimpin yang
bertanggungjawab untuk tetap menjaga kekeluargaan, keharmonisan, kekerabatan
dan kebersamaan di antara sesama warga NTT. “Pemimpin yang bertanggungjawab
tidak boleh memelihara primordialisme”, demikian Ketua Dewan Pimpinan Daerah
(DPD) Partai Demokrat NTT Jonathan Kana.
Di sini,
sebetulnya Jonathan mengharapkan adanya keberimbangan dalam menduduki posisi-posisi
strategis dalam pemerintahan. Tetapi, posisi-posisi itu tidak asal ditempati
pejabat. “Penempatan pejabat harus sesuai disiplin ilmu yang dimiliki, jangan
sampai sarjana pendidikan justru menjadi kepala dinas peternakan. Ini tidak nyambung. Nanti kepada dinas itu akan
mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya”, tandas Jonathan.
Jonathan
bilang, primordialisme ada di NTT tapi tidak nampak. Beda dengan Harry Lawalu yang langsung
menohok jelas kalau primordialisme di NTT cukup menguat. Hanya saja masyarakat
NTT lebih suka kebersamaan daripada percecokan, lebih suka damai daripada
perang.
Primordialisme
bahkan menurut Harry, ikut mengorbankan sumber daya manusia (SDM) NTT yang
profesional. Sebab, calon pemimpin atau pejabat yang seharusnya mempunyai
kualifikasi pendidikan dan ketrampilan untuk menduduki jabatan tertentu, justru
diabaikan atau ditempatkan berlawanan dengan disiplin ilmu yang dimiliki. Sebaliknya, kebanyakan jabatan justru diisi
pejabat yang beragama dan berasal dari suku tertentu. Tergantung siapa pemimpinnya.
Pemimpin
pula yang menentukan arah pembangunan NTT. Jika salah pemimpin dan salah
memimpin, anggaran berapa pun yang dikucurkan ke NTT, sia-sia. Tidak ada
hasil. Nantinya yang terjadi adalah korupsi dan
kemiskinan. Sampai kapan NTT sejahtera,
hanya cita-cita. Kenyataan ini berbeda dengan yang disampaikan Direktris
Yayasan Amnaut Bife Kuan (Yabiku) NTT Maria Filiana Tahu. “NTT sudah maju tapi
belum sehat”, demikian Fili. (*)
Keluarga Salem Tidak Dukung Frenly
Laporan: John Siki
KELUARGA Frans Salem SH.MSI,
Sekretaris Propinsi (Sekprop) NTT dinilai "mengkhianati"
Gubernur NTT, Frans Lebu Raya.
Pasalnya, keluarga Salem tidak mendukung paket Frenly, sandi gaul pasangan
Frans Lebu Raya dan Beny Litelnoni, pada hajatan suksesi pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur
NTT 2013.
Luapan rasa kekesalan muncul dari
Bupati TTU Raymundus S. Fernandes saat bertandang ke
pelosok perkampungan TTU untuk menyampaikan terimakasih atas dukungan
terpilihnya Bupati Ray Fernandes dan Wakil Bupati Alo Kobes pada pemilukada 2010 lalu.
Ilustrasi |
Pada setiap kesempatan dialog,
Bupati Ray tak henti-hentinya membuka tabir kekilafan yang dilakukan sejumlah
oknum elit politik asal Timor. Sebut saja, pada kesempatan lawatan di
Sonaf Tunbaba, Kelurahan Oesena, Kecamatan Miomaffo Timur, tepatnya Jumat
(25/01/2013) lalu, Bupati Ray mengaku kesal atas tindakan dan sikap keluarga
Salem. Keluarga ini dinilai tidak mendukung paket Frenly,
sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub) tapi justru mengalihkan
dukungannya untuk paket lain.
"Terus terang bapak mama, kita
kesal karena keluarga Salem yang dulunya kita sudah berjuang dan berhasil
menjadi Sekda, justru sekarang tidak mendukung Pak Frans Lebu Raya sebagai gubernur pada pemilu gubernur kali ini," ucap Ray kesal.
Semestinya, menurut dia, keluarga Salem harus
tahu etika dan tatakrama, tahu mengucapkan terimakasih kepada Frans Lebu Raya, karena sudah memberikan dukungan hingga Frans
Salem dipercaya menjadi Sekda NTT. Dia mengisahkan komunikasi dirinya bersama
Frans Lebu Raya, berhasil dilakukan dalam
perjalanan saat kunjungan di Kecamatan Lela, Kabupaten Manggarai, bersama
rombongan Gubernur NTT saat itu. Alhasilnya, Frans Salem, lolos sebagai Sekda NTT, menggeser dua calon rival
lainnya.
Bukan hanya itu, selain Frans
Salem, rasa kekesalan pun diarahkan untuk Esthon L. Fonay, sang Wagub NTT, yang
kini maju sebagai calon Gubernur NTT bersama Paul Talo, untuk maju bertarung
melawan Frans Lebu Raya pada pemilu 18 Maret
2013 lalu.
Ray menilai, Esthon termasuk kader
yang tidak patut pada komitmen sebelumnya. Bahkan
dinilai tidak berterimakasih atas perjuangan tokoh Timor. Sebab, saat itu, pihaknya selaku pengurus DPC PDIP TTU yang justru
berjuang untuk mengakomodir Esthon Fonay, selaku tokoh Timor untuk maju
mendampingi Frans Lebu Raya, pada Pemilu Gubernur 2008 lalu, hingga akhirnya sandi
Fren terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTT hingga saat ini.
"Saat itu semua 21 DPC PDIP
menginginkan Piet Jami Rebo, tapi justru
sebagai orang Timor saya yang berjuang memaksakan untuk Pak Esthon harus
diterima mendampingi Pak Frans saat itu," tandasnya
Bupati Ray mengaku kesal, sebab
sebelumnya sudah ada komitmen Frans-Esthon untuk maju sebagai calon Gubernur
dan Wagub pada suksesi Pemilu 2013, menggunakan nama
sandi Fren jilid II, tapi herannya sehari sebelum deklarasi justru Esthon
mundur. Mau dibilang perlakuan istimewa Gubernur Frans Lebu Raya terhadap kepentingan Timor, dianggap biasa saja,
sehingga untuk tidak kehilangan "muka" di hadapan Frans Lebu Raya, dengan tegas Bupati Ray yang juga Ketua DPC PDIP TTU, berharap kepada masyarakat untuk
satukan tekad tetap memilih pasangan Frenly untuk memimpin NTT pada pemilu 18 Maret mendatang.
"Saya dan Pak Esthon satu
nenek tapi sebagai adik saya memang kecewa, karena sikap beliau dulu satu perahu
sekarang mundur memilih maju sendiri. Supaya tidak malu yang kedua kalinya mari
kita semua dukung Paket Frenly pada pemilukada nanti," kata Bupati Ray.
Dikatakan, pendekatan program yang
gencar dilakukan pemerintahan saat ini sangat menyentuh kebutuhan masyarakat,
sehingga Ketua DPC PDIP TTU itu berharap semua masyarakat untuk mendukung empat tekad Pemerintah Propinsi NTT yakni menjadikan NTT sebagai Propinsi Jagung, Propinsi Ternak, Propinsi Cendana dan Propinsi Koperasi. Terbukti sejumlah terobosan pemerintah semisal Anggur
Merah dan dukungan pembangunan fisik yang dilakukan Gubernur Frans Lebu Raya patut
didukung sehingga Frans Lebu Raya bisa
terpilih kembali dalam Paket
Frenly.
"Pak Frans sudah berbuat
banyak untuk NTT, kenapa harus pilih yang lain. Kita minta dukung bapak mama
jangan buat kita kecewa yang kedua kalinya. Selama ini kita sudah berjuang
untuk Pak Esthon dan Pak Frans Salem, tapi apa yang dilakukan untuk Pak Frans Lebu Raya saat
ini. Terus terang kita kecewa dan kesal," katanya.
Tidak Etis
Tudingan Bupati Ray itu mendapat
tanggapan serius keluarga Salem. Johanes Salem yang saat ini menjadi anggota
DPRD TTU asal Partai Demokrat mengaku kesal bila benar pernyataan tidak etis
itu muncul dari seorang bupati, yang juga pembina politik di TTU.
"Kita prihatin kalau benar
pernyataan tidak etis itu keluar dari seorang publik figur, apalagi sebagai
pembina politik. Bagi saya itu pernyataan keliru dan tidak pantas disampaikan kepada
masyarakat atau siapa pun dia. Mestinya kita memberikan pemahaman dan
pendidikan politik yang benar untuk masyarakat dan bukan saling menciderai
karena kepentingan tertentu," tandas Ketua DPC Partai Demokrat TTU ini.
Keluarga Salem, menurut John—begitu
akrabnya Johanes Salem, sangat dewasa dan santun berpolitik. Jika ada
pernyataan yang bernuansa subjektif kepada keluarga Salem, pernyataan itu
menciderai semangat demokrasi dan pendidikan politik bagi masyarakat.
Dalam nuansa politik dianut azas
Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil, red) sehingga
politik tidak bisa membingkai untuk kepentingan seseorang atau keluarga
tertentu. Apalagi pernyataan tersebut keluar dari seorang bupati sebagai
pembina politik di TTU.
Menurut John, keluarga Salem sangat menjunjung
tinggi perbedaan pandangan politik tetapi perbedaan pandangan itu tidak
mereduksi rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang sudah ada lantaran semua
komponen masyarakat bekerja untuk kepentingan masyarakat, daerah dan bangsa.
"Perbedaan politik sangat wajar asalkan tidak saling menciderai, apalagi
menyerang seseorang atau keluarga tertentu. Sebagai publik figur, kita menjadi
panutan dan contoh di masyarakat karena semua kita baik individu atau kelompok
tentu menginginkan yang baik untuk kepentingan bersama," tandasnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar