Selasa, Februari 19, 2013

Politik Primordialisme ala NTT



Politik Primordialisme ala NTT
PADA 20 Desember 2012 lalu, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berusia 54 tahun. Pembangunan gencar dilakukan. Ada keberhasilan. Ada pula kegagalan. Keberhasilan dipertahankan dan ditingkatkan. Sedangkan kegagalan diperbaiki. Itulah dinamika pembangunan di NTT. 

Kemajuan dan kegagalan pembangunan di NTT terkait erat dengan perilaku para elit dan masyarakat itu sendiri. Para elit, khususnya para pemimpin eksekutif, mulai dari gubernur, bupati/walikota sampaii Ketua RT/RW, cenderung mempraktikkan primordialisme. Primordialisme yang paling kentara, diterima dan diakui sah secara diam-diam adalah primordialisme agama dan suku.
Ilustrasi
Jika dihitung-hitung, masyarakat NTT mayoritas beragama Kristen (Katolik dan Protestan). Lainnya Muslim, Hindu dan Budha. Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), propinsi ini dikenal sebagai propinsi kepulauan. Sering pula propinsi ini disebut Indonesia mini. Sebab, propinsi ini memiliki 556 pulau. Ada yang sudah dihuni, ada yang belum dihuni.   
Dalam  penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan, para elit propinsi ini cenderung memberi perhatian lebih pada pemimpin-pemimpin atau figur-figur Kristen (Katolik dan Protestan).  Kalau pemimpin atau gubernur dan bupati/walikotanya beragama Katolik, pejabat di bawahnya juga beragama Katolik, demikian juga kalau gubernurnya beragama Protestan. Pada masa belum ada wakil gubernur, kalau gubernur beragama Katolik, sekretaris daerahnya beragama Protestan,, atau sebaliknya.
Sedangkan figur yang beragama Muslim, Hindu dan Budha tidak dihiraukan. Warga Muslim hanya menjadi ban lasereb. Cukup mendukung dan memilih pemimpin sesuai keinginan elit partai dan para sesepuh warga Muslim. Istilahnya, pilih tidak pilih sama saja. Suka tidak suka harus suka. Siapa pun pemimpinnya, warga Muslim cari makan sendiri.  Demikian juga warga NTT yang beragama Hindu dan Budha.
Primordialisme suku terlihat juga di NTT.  Kalau gubernur berasal dari Flores, wakil gubernur disesuaikan saja: Rote/Sabu atau Timor. Praktik politik yang terlihat di depan mata, hingga saat ini NTT yang sudah berusia 54 tahun, belum pernah ada gubernur yang berasal dari Timor. Mantan Gubernur NTT periode 1958-1968 Elias Tari berasal dari Rote, WJ Lalamentik periode 1968-1978 dari Sabu, Ben Mboi dari Flores/Manggarai periode 1978-1988, Hendrikus Fernandez dari Flores/Flores Timur periode 1988-1993, Herman Musakabe dari Flores/Ngada periode 1993-1998, Piet Tallo periode 1998-2008 dari Sabu, dan Frans Lebu Raya periode 2008-2013 dari Flores/Flores Timur.
Untuk periode 2013-2018,  saat ini NTT sedang siap-siap memilih. Bila tidak ada rintangan, pemilihan Gubernur NTT periode 2013-2018 akan dilakukan pada 18 Maret 2013.  Pasangan calon gubernur dan wakil gubernurnya dari mana dan beragama apa, belum tahu. Yang jelas, dari lima calon gubernur yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi NTT pada 31 Januari 2013, tiga di antaranya berasal dari Flores dan beragama Katolik, yakni Frans Lebu Raya, Christian Rotok dan Benny Kabur Harman. Sedangkan Ibrahim Agustinus Medah dan Esthon Leyloh Foenay beragama Protestan. Frans, Chris dan Benny berasal dari Flores. Sedangkan Medah dari Rote dan Esthon dari Timor.
Untuk calon wakil gubernur, ada tiga orang, yakni Benny Litelnoni yang berpasangan dengan Frans Lebu Raya, Abraham Liyanto yang berpasangan dengan Christian Rotok, dan Willem Nope yang berpasangan dengan Benny Kabur Harman. Ketiga calon wakil gubernur ini beragama Protestan, sama-sama berasal dari Timor. Sedangkan dua calon wakil gubernur lainnya, yakni Emanuel Melkiades Laka Lena dan Paul Edmundus Tallo. Keduanya beragama Katolik dan berasal dari Flores.
Dalam sejarah NTT, baru kali ini figur Timor yang terepresentasi melalui Esthon Foenay muncul sebagai calon gubernur. Padahal, ibukota propinsi ini di Timor, tepatnya di Kupang. Bahkan, Kupang selain menjadi ibukota propinsi, juga ibukota Kota Kupang. Pernah pula menjadi  ibukota Kabupaten Kupang. Sebagai iibukota Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Propinsi NTT, Kupang menjadi pusat aktivitas semua kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Banyak suku dari seluruh Indonesia hidup makan minum di tanah Timor. Tetapi, orang Timor justru terdiskriminasi di kampung halamannya sendiri. Kadang istilah Timor diplesetkan menjadi Tanah Ini Milik Orang Rote.
Di berbagai lingkungan masyarakat Kota Kupang, orang Timor sering dikenai stigma: Timor  kouk, Timor bodoh. Stigma dan plesetan-plesetan seperti itu, menurut Pembantu Rektor IV Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Ir Fabian  Harry Lawalu, diadopsi sebagian masyarakat NTT dari penjajah Portugal dan Belanda.
Stigma dan plesetan-plesetan itu  kemudian diperparah dengan egoisme berlebihan sebagian masyarakat NTT melalui primordialisme suku dan agama. “Sikap primordial itu baik karena lebih pada identitas diri, misalnya sebagai orang Timor, orang Flores, orang Rote atau orang Sumba dan Alor. Tetapi, primordialisme justru lebih mengutamakan atau menjadikan diri segala-galanya dengan tidak menghargai, menerima dan menghargai orangg lain”, kata Harry.
Primordialisme itu baik atau buruk, sangat ditentukan pribadi orang per orang, terutama para pemimpin. Karena itu, NTT sebetulnya sangat mengharapkan pemimpin yang bertanggungjawab untuk tetap menjaga kekeluargaan, keharmonisan, kekerabatan dan kebersamaan di antara sesama warga NTT. “Pemimpin yang bertanggungjawab tidak boleh memelihara primordialisme”, demikian Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat NTT Jonathan Kana.
Di sini, sebetulnya Jonathan mengharapkan adanya keberimbangan dalam menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Tetapi, posisi-posisi itu tidak asal ditempati pejabat. “Penempatan pejabat harus sesuai disiplin ilmu yang dimiliki, jangan sampai sarjana pendidikan justru menjadi kepala dinas peternakan. Ini tidak nyambung. Nanti kepada dinas itu akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya”, tandas Jonathan.
Jonathan bilang, primordialisme ada di NTT tapi tidak nampak.  Beda dengan Harry Lawalu yang langsung menohok jelas kalau primordialisme di NTT cukup menguat. Hanya saja masyarakat NTT lebih suka kebersamaan daripada percecokan, lebih suka damai daripada perang. 
Primordialisme bahkan menurut Harry, ikut mengorbankan sumber daya manusia (SDM) NTT yang profesional. Sebab, calon pemimpin atau pejabat yang seharusnya mempunyai kualifikasi pendidikan dan ketrampilan untuk menduduki jabatan tertentu, justru diabaikan atau ditempatkan berlawanan dengan disiplin ilmu yang dimiliki.  Sebaliknya, kebanyakan jabatan justru diisi pejabat yang beragama dan berasal dari suku tertentu.  Tergantung siapa pemimpinnya.
Pemimpin pula yang menentukan arah pembangunan NTT. Jika salah pemimpin dan salah memimpin, anggaran berapa pun yang dikucurkan ke NTT, sia-sia. Tidak ada hasil.   Nantinya yang terjadi adalah korupsi dan kemiskinan.  Sampai kapan NTT sejahtera, hanya cita-cita. Kenyataan ini berbeda dengan yang disampaikan Direktris Yayasan Amnaut Bife Kuan (Yabiku) NTT Maria Filiana Tahu. “NTT sudah maju tapi belum sehat”, demikian Fili. (*)


Keluarga Salem Tidak Dukung Frenly
Laporan: John Siki
KELUARGA Frans Salem SH.MSI, Sekretaris Propinsi (Sekprop) NTT dinilai "mengkhianati" Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. Pasalnya, keluarga Salem tidak mendukung paket Frenly, sandi gaul pasangan Frans Lebu Raya dan Beny Litelnoni, pada hajatan suksesi pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur NTT 2013. 
Luapan rasa kekesalan muncul dari Bupati TTU Raymundus S. Fernandes saat bertandang ke pelosok perkampungan TTU untuk menyampaikan terimakasih atas dukungan terpilihnya Bupati Ray Fernandes dan Wakil Bupati Alo Kobes pada pemilukada 2010 lalu.
Ilustrasi
Pada setiap kesempatan dialog, Bupati Ray tak henti-hentinya membuka tabir kekilafan yang dilakukan sejumlah oknum elit politik asal Timor.  Sebut saja, pada kesempatan lawatan di Sonaf Tunbaba, Kelurahan Oesena, Kecamatan Miomaffo Timur, tepatnya Jumat (25/01/2013) lalu, Bupati Ray mengaku kesal atas tindakan dan sikap keluarga Salem. Keluarga ini dinilai  tidak mendukung paket Frenly, sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub) tapi justru mengalihkan dukungannya untuk paket lain.
"Terus terang bapak mama, kita kesal karena keluarga Salem yang dulunya kita sudah berjuang dan berhasil menjadi Sekda, justru sekarang tidak mendukung Pak Frans Lebu Raya sebagai gubernur pada pemilu gubernur kali ini," ucap Ray kesal.
Semestinya, menurut dia, keluarga Salem harus tahu etika dan tatakrama, tahu mengucapkan terimakasih kepada Frans Lebu Raya, karena sudah memberikan dukungan hingga Frans Salem dipercaya menjadi Sekda NTT. Dia mengisahkan komunikasi dirinya bersama Frans Lebu Raya, berhasil dilakukan dalam perjalanan saat kunjungan di Kecamatan Lela, Kabupaten Manggarai, bersama rombongan Gubernur NTT saat itu.   Alhasilnya, Frans Salem,  lolos sebagai Sekda NTT, menggeser dua calon rival lainnya.   
Bukan hanya itu, selain Frans Salem, rasa kekesalan pun diarahkan untuk Esthon L. Fonay, sang Wagub NTT, yang kini maju sebagai calon Gubernur NTT bersama Paul Talo, untuk maju bertarung melawan Frans Lebu Raya pada pemilu 18 Maret 2013 lalu.
Ray menilai, Esthon termasuk kader yang tidak patut pada komitmen sebelumnya. Bahkan dinilai tidak berterimakasih atas perjuangan tokoh Timor. Sebab, saat itu, pihaknya selaku pengurus DPC PDIP TTU yang justru berjuang untuk mengakomodir Esthon Fonay, selaku tokoh Timor untuk maju mendampingi Frans Lebu Raya, pada Pemilu Gubernur 2008 lalu, hingga akhirnya sandi Fren terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTT hingga saat ini.
"Saat itu semua 21 DPC PDIP menginginkan Piet Jami Rebo, tapi justru sebagai orang Timor saya yang berjuang memaksakan untuk Pak Esthon harus diterima mendampingi Pak Frans saat itu," tandasnya
Bupati Ray mengaku kesal, sebab sebelumnya sudah ada komitmen Frans-Esthon untuk maju sebagai calon Gubernur dan Wagub pada suksesi Pemilu 2013, menggunakan nama sandi Fren jilid II, tapi herannya sehari sebelum deklarasi justru Esthon mundur. Mau dibilang perlakuan istimewa Gubernur Frans Lebu Raya terhadap kepentingan Timor, dianggap biasa saja, sehingga untuk tidak kehilangan "muka" di hadapan Frans Lebu Raya, dengan tegas Bupati Ray yang juga Ketua DPC PDIP TTU, berharap kepada masyarakat untuk satukan tekad tetap memilih pasangan Frenly untuk memimpin NTT pada pemilu 18 Maret mendatang.
"Saya dan Pak Esthon satu nenek tapi sebagai adik saya memang kecewa, karena sikap beliau dulu satu perahu sekarang mundur memilih maju sendiri. Supaya tidak malu yang kedua kalinya mari kita semua dukung Paket Frenly pada pemilukada nanti," kata Bupati Ray.
Dikatakan, pendekatan program yang gencar dilakukan pemerintahan saat ini sangat menyentuh kebutuhan masyarakat, sehingga Ketua DPC PDIP TTU itu berharap semua masyarakat untuk mendukung empat tekad Pemerintah Propinsi NTT yakni menjadikan NTT sebagai Propinsi Jagung, Propinsi Ternak, Propinsi Cendana dan Propinsi Koperasi. Terbukti sejumlah terobosan pemerintah semisal Anggur Merah dan dukungan pembangunan fisik yang dilakukan Gubernur Frans Lebu Raya patut didukung sehingga Frans Lebu Raya bisa terpilih kembali dalam Paket Frenly.
"Pak Frans sudah berbuat banyak untuk NTT, kenapa harus pilih yang lain. Kita minta dukung bapak mama jangan buat kita kecewa yang kedua kalinya. Selama ini kita sudah berjuang untuk Pak Esthon dan Pak Frans Salem, tapi apa yang dilakukan untuk Pak Frans Lebu Raya saat ini. Terus terang kita kecewa dan kesal," katanya.

Tidak Etis
Tudingan Bupati Ray itu mendapat tanggapan serius keluarga Salem. Johanes Salem yang saat ini menjadi anggota DPRD TTU asal Partai Demokrat mengaku kesal bila benar pernyataan tidak etis itu muncul dari seorang bupati, yang juga pembina politik di TTU.
"Kita prihatin kalau benar pernyataan tidak etis itu keluar dari seorang publik figur, apalagi sebagai pembina politik. Bagi saya itu pernyataan keliru dan tidak pantas disampaikan kepada masyarakat atau siapa pun dia. Mestinya kita memberikan pemahaman dan pendidikan politik yang benar untuk masyarakat dan bukan saling menciderai karena kepentingan tertentu," tandas Ketua DPC Partai Demokrat TTU ini.
Keluarga Salem, menurut John—begitu akrabnya Johanes Salem, sangat dewasa dan santun berpolitik. Jika ada pernyataan yang bernuansa subjektif kepada keluarga Salem, pernyataan itu menciderai semangat demokrasi dan pendidikan politik bagi masyarakat.
Dalam nuansa politik dianut azas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luber dan Jurdil, red) sehingga politik tidak bisa membingkai untuk kepentingan seseorang atau keluarga tertentu. Apalagi pernyataan tersebut keluar dari seorang bupati sebagai pembina politik di TTU.
Menurut John, keluarga Salem sangat menjunjung tinggi perbedaan pandangan politik tetapi perbedaan pandangan itu tidak mereduksi rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang sudah ada lantaran semua komponen masyarakat bekerja untuk kepentingan masyarakat, daerah dan bangsa. "Perbedaan politik sangat wajar asalkan tidak saling menciderai, apalagi menyerang seseorang atau keluarga tertentu. Sebagai publik figur, kita menjadi panutan dan contoh di masyarakat karena semua kita baik individu atau kelompok tentu menginginkan yang baik untuk kepentingan bersama," tandasnya. (*)



Tidak ada komentar: