Kalau Pemimpin Agama Jadi Broker Politik
Oleh: Cyriakus Kiik
Tahapan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) sedang berjalan. Setelah selama seminggu Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Propinsi NTT menerima pendaftaran terhitung 26 Desember 2012 sampai
dengan 2 Januari 2013, para pasangan bakal calon (balon) gubernur dan wakil
gubernur pada dua hari kemudian, yakni 4 dan 5 Januari 2013 melakukan
pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof dr WZ Johannes
Kupang.
Enam pasangan balon Gubernur dan Wakil Gubernur
mengikuti proses ini. Keenam balon pasangan itu adalah Pasangan Frenly (Frans
Lebu Raya-Benny Litelnoni), Cristal (Christian Rotok-Abraham Liyanto),
Esthon-Paul (Esthon Foenay-Paul Edmundus Tallo), TUNAS (Ibrahim Agustinus
Medah-Emanuel Melkiades Lakalena), BKH-Nope (Benny Kabur Harman-Willem Nope)
dan BBM (Benny Bosu-Melkianus Adoe).
Pasangan-pasangan politik ini memiliki penasehat
rohani yang diambil dari para pemimpin agama: pendeta, pastor, haji, hajah dan
kiyai. Dalam pengalaman saya, peran para pemimpin agama ini tidak hanya sekedar
memberi nasehat atau mendoakan jagoannya untuk menang. Tetapi, mereka juga
menjadi tim sukses. Dengan demikian, mereka ikut mengatur dan terlibat aktif
membuat strategi untuk memenangkan pasangan calonnya. Itu berarti para pemimpin
agama ini terlibat aktif dalam politik praktis. Saya boleh bilang, para
pemimpin agama demikian justru sedang menjadi broker politik. Mengapa?
Dalam Hukum Kanon yang dianut Gereja Katolik, para
pastor dan klerus dilarang berpolitik paktis. Baik menjadi pengurus partai
politik, mencalonkan diri menjadi gubernur dan bupati/walikota atau menjadi
calon anggota Dewan. Apabila ada pastor atau klerus yang terlibat politik
praktis perlu mengundurkan diri dari pelibatan itu.
Pakar komunikasi Universitas Katolik Widya Mandira
(Unwira) Kupang Dr P. Eduardus Dosi, SVD,MSi beralasan, pengunduran diri dari
pelibatan itu memang penting untuk memelihara kerukunan umat. Sebab, pemimpin
agama khusus para pastor dan klerus tidak dibenarkan Gereja Katolik untuk
berpihak pada orang atau kelompok tertentu. “Kami hadir untuk semua orang dan
semua kelompok. Kita tidak boleh hanya memihak partai atau orang tertentu”,
kata pastor jebolan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero
Maumere-Flores itu.
Menurut doktor komunikasi lulusan Universitas
Indonesia Jakarta itu, keberpihakan pastor dan klerus yang dimaksud Hukum Kanon
adalah pemberdayaan umat di bidang sosial
ekonomi. Hal ini dimaksudkan untuk membantu mereka yang miskin dan
papa. Supaya harkat dan martabat mereka
sama dengan umat lainnya yang hidup berkecukupan. Pun tidak terjadi perpecahan
atau keretakan di antara umat. Baik sesama umat Katolik, maupun kerukunan umat
Katolik dengan sesama umat beragama lainnya.
“Para pastor jangan lupa, katolik itu umum, sehingga
sebagai pemimpin agama Katolik harus melayani semua umat beragama. Tidak
sebatas umat Katolik tetapi untuk semua umat beragama”, tandasnya.
Edu, begitu akrabnya Pater Eduardus, tidak mau
berpendapat banyak soal para pastor dan klerus yang terlibat politik praktis.
Dia hanya mengingatkan para pastor dan klerus dengan menyebutkan sejumlah
ketentuan Hukum Kanon dan Ajaran Sosial Gereja Katolik yang mengatur pemihakan
para pastor dan klerus.
Untuk hal yang sama, Direktur Pusat Penelitian Manse
Nsae Dr P. Gregorius Neonbasu melihat perilaku para pastor sudah sangat-sangat
krusial. Sebab, banyak pastor yang
terlibat politik praktis. Padahal, sebagaimana diungkapkan koleganya pakar
komunikasi Unwira Kupang Dr Edu Dosi, dilarang Hukum Kanon dan Ajaran Sosial
Gereja. Banyak umat Katolik yang bertanya
kepadanya, apakah pastor yang terlibat politik praktis dibenarkan Gereja
Katolik? Untuk itu, Gregor, begitu Pater Gregorius biasa disapa, Ordinalis
Wilayah atau Uskup harus mengawasi secara ketat para pastor dan klerus yang
terlibat politik praktis. Sebab, bagi Gregor, perilaku pastor tertentu yang demikian berpeluang memecah-belah umat
katolik. Kerukunan antarumat beragama juga terancam. Sesama umat Katolik sudah
tidak memandang sebagai saudara seiman. Boleh dibilang ada musuh dalam selimut.
Ada perilaku-perilaku pastor dan klerus yang tidak benar di Gereja Katolik. “Ini
yang saya bilang tadi, perlu ada pengawasan dari Ordinalis Wilayah atau Uskup”,
demikian Gregor.
Dalam pengalaman Gregor, ada umat yang bertanya,
“Pastor, kenapa pastor ini selalu kotbah begini. Dia kotbah bukan untuk
membahas bacaan-bacaan Kitab Suci tetapi lebih banyak omong politik dan kritik
pemerintah”.
Kalau ada pertanyaan begitu, Gregor selalu
menghindar menjawabnya. Bukan tidak tahu jawabannya tetapi jangan sampai ada kesan
ada pastor yang benar dan pastor tidak benar, pastor yang baik dan tidak baik,
ada pastor pintar dan pastor bodoh.
Ada umat yang bahkan membuat curahan hati kepadanya.
“Pastor, pastor A selalu kotbah tentang partai merah. Sedangkan pastor si B
kotbah tentang partai biru. Memangnya mereka pengurus partai? Jangan sampai
mereka sudah dapat uang? Itu kotbah keselamatan atau kotbah uang”, begitu
cerita Gregor tentang pertemuannya dengan seorang ibu di salah satu Gereja
Katolik di daratan Timor.
Baginya, cerita dan pertanyaan-pertanyaan umat
mengisyaatkan kalau mereka sudah tidak suka dengan pastor dan klerus atau
pemimpin agama yang terlibat politik praktis.
Dalam moment Pilgub seperti saat ini, Gereja Katolik
bisa saja lalai. Melalui para pemimpin Gereja lokal (paroki), bisa saja terjadi
dukung-mendukung terhadap pasangan calon tertentu. Frans Lebu Raya, misalnya,
bisa saja mendatangi komunitas-komunitas katolik seperti biara-biara,
kelompok-kelompok kategorial, lembaga-lembaga pendidikan seperti seminari baik
seminari menengah maupun seminari tinggi.
Frans juga bisa mendatangi Uskup Larantuka sebagai
Pemimpin Keuskupan asalnya, meminta restu. Uskup kemudian menyerukan kepada
umatnya mendukung Frans. Soal nanti hari “H” memilih Frans atau tidak bukan
urusan.
Frans bisa saja datang tunjuk muka di Seminari
Tinggi Ritapiret dan Ledalero di Maumere. Cukup bertemu sebentar dengan
pimpinan masing-masing lembaga, kemudian bicara sedikit di depan para calon
imam projo Ritapiret dan calon misionaris Serikat Sabda Allah (SVD). Semuanya
tahu kalau Frans sedang kampanye. Untuk mendapat dukungan pemilih pemula, Frans
bisa mengunjungi juga seminari menengah yang ada di seluruh wilayah NTT.
Atas alasan Katolik tadi, para pastor dan klerus,
mahasiswa dan siswa seminari bisa saja memberi dukungan tanpa reserve kepada
Frans dan pasangannya. Sekali berkunjung dalam lima tahun masa jabatan, bisa
menjadi ukup pengampunan atas berbagai kelalaiannya bagi umat atau rakyat. Sekali
lagi, soal nanti mereka memilih Frans atau tidak, terserah mereka.
Hal serupa bisa dilakukan Benny Kabur Harman dan
Benny Bosu yang sama-sama Katolik. Apabila Frans, Benny Harman dan Benny Bosu
memanfaatkan massa umat Katolik, jangan heran kalau kemudian umat Katolik terpecah-pecah
menjadi: umat Katolik Frans dan umat Katolik dua Benny. Padahal, massa umat
Katolik Frans, Benny Harman dan Benny Bosu adalah massa umat calon pemilih yang
sama di daerah yang sama pula. Kalau pasangan Frans memenangi Pilgub, massa
umat Katolik dua Benny kalah, pasti umat Katolik yang sama pula yang berantem.
Mereka saling menjadi musuh. Relasi kekatolikannya retak. Tidak rukun. Karena itulah, para pemimpin agama khususnya
para pastor dan klerus diharapkan tidak menjadi broker politik.
Lalu, bagaimana dengan pendeta yang terlibat politik
praktis? Di lingkungan Gereja Protestan, memang banyak sekte. Ada sekte yang
mmbenarkan pendeta berpolitik praktis. Di Gereja Masehi Injili Timor (GMIT),
misalnya, ada aturan dalam Tata Dasar GMIT yang membenarkan pendeta berpolitik
praktis. Tetapi, tidak semua pendeta. “Pendeta yang bisa berpolitik praktis
adalah pendeta yang tidak sedang menjabat pendeta jemaat”, katanya.
Nitti menyadari kalau pendeta yang berpolitik
praktis merupakan salah satu cara pelayanan Pemimpin Agama kepada umat. Tetapi,
perlu diwaspadai sehingga tidak memecah-belah umat. Hanya, peluang
‘memecah-belah’ itu sangat kecil. Jemaat juga sudah cerdas membedakan politik
yang membuat umat semakin harmonis, rukun dan damai, daripada politik ‘memecah-belah’.
Lain Pdt Nitti, lain Rev. Robert Litelnoni, Ketua
Sinode GMIT. Menurut dia, Gereja melarang pendeta berpolitik praktis. Tetapi,
pendidikan politik, boleh. Pendidikan politik dimaksud bisa disampaikan kepada
jemaat dalam forum-forum persidangan Sinode dan sidang Klasis. Tidak perlu menjadi pengurus
partai atau anggota Dewan. Karena itulah, terkait Pilgub NTT 2013, Sinode
secara kelembagaan akan menerbitkan Suara Gembala untuk menghindari adanya hasutan
politik bagi jemaat yang berbuntut pada terpecah-belahnya jemaat.
Apabila perilaku para pendeta ‘memecah-belah”
jemaat, di tubuh GMIT bisa muncul beberapa kelompok kecil. Mereka bisa saja
siaga atau dipersiapkan khusus untuk menghadapi Pilgub NTT saat ini. Misalnya, kelompok Ketua Sinode, Sekretaris
Sinode dan anggota Majelis Sinode. Belum lagi mereka yang sebelumnya menduduki
jabatan ini, seperti Ibrahim Agustinus Medah dan Esthon Foenay. Medah dan
Esthon yang sama-sama pernah menjadi anggota Majelis Sinode, tentu mempunyai
massa jemaat sendiri-sendiri. Massa jemaat GMIT bisa saja menjadi tim TUNAS
(Medah-Lakalena) atau Esthon-Paul tanpa diminta. Atau, kalau saja dua pasangan ini berani
dengan menghalalkan segala cara sebagaimana diimpikan Machiavelli, bisa saja
mereka mendatangi massa jemaat GMIT dimana saja atau melalui Badan Pengurus
Sinode itu sendiri.
Hal yang sama bisa dilakukan Abraham Liyanto yang
saat ini menjadi salah satu anggota Majelis Sinode. Sedangkan Ketue Simode Rev.
Robert S. Litelnoni bisa saja bermain untuk kakaknya Benny Litelnoni, yang
berpasangan dengan Frans Lebu Raya, sebagai calon wakil gubernur
Informasi tercecer yang diperoleh TIMORense
menyebutkan, beberapa waktu lalu, Sekretaris Sinode Benjamin Nara Lulu diundang
panitia salah satu Gereja Kristen besar di Kota Soe, ibukota Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS). Benjamin dalam jabatannya sebagai Sekretaris Sinode
diundang untuk meresmikan gereja yang baru selesai dibangun itu. Yang menjadi
pertanyaan, acara peresmian sejak awal hingga pertengahan justru diatur
sekelompok orang yang teridentifikasi sebagai orang-orang PDI Perjuangan.
Orang-orang itu bicara paling banyak. Sekretaris Sinode Benjamin Nara Lalu yang
direncanakan hadir untuk meresmikan gereja tersebut malahan tidak diberi
kesempatan untuk berbicara. Dikabarkan, Benjamin kemudian meninggalkan ruangan
begitu saja sebelum acara selesai. Melihat Benjamin keluar ruangan, sebagian
besar jemaat juga pulang. Tidak diperoleh informasi jelas, siapa yang meresmikan gereja tersebut.
Sebagian besar jemaat yang hadir kemudian membaca
acara itu didesain sebagai ajang kampanye Benny Litelnoni, calon wakil gubernur
yang berpasangan dengan Frans Lebu Raya.
Mantan imam projo Keuskupan Atambua Amandus Nahas
justru berbicara keras. Dia bilang, pemimpin umat yang berpolitik praktis tidak tabu. Justru dengan
berpolitik praktis, penyelamatan dunia menjadi nyata. Sebab, menurut dia, karya
pastoral itu harus mendunia. Harus masuk ke semua lini. Termasuk dunia hitam
sekali pun. Tetapi, masuk untuk menggarami. Sehingga, yang bengkok jadi lurus, kotor jadi
bersih, yang gelap jadi terang.
Sama halnya dunia politik praktis, bagi Amandus, sebetulnya pemimpin umat hadir
di sana untuk memberikan warna pendidikan politik yang santun, bermoral dan
bernurani. Sebab, dalam aturan hukum Kanonik atau pun Dokumen Gereja Katolik
tidak ada satu pun larangan bagi pemimpin umat (pastor) terlibat politik
praktis. Ajaran Agama Katolik justru tidak pernah membatasi seseorang (pastor)
untuk berkarya.
Perdebatan dengan alasan apa pun bisa terjadi
terkait Pilgub NTT saat ini. Petuah
pakar politik Dr. Jerry Massie D.Min, PhD patut didengar dan direnungkan. Dia
mengingatkan semua umat beragama termasuk para pemimpinnya, “Seseorang yang
mencampur-adukan dua hal berbeda, yakni politik dan agama, adalah keliru. Kalau
dua hal ini dipadukan akan berakibat fatal yang disebut sinkritisme. Padahal,
apabila seseorang menerapkan politik etis politeuma secara benar, mereka akan
terhindar dari ketamakan, keserakahan, dan keegoisan”.
Sikap awas keras diberikan pula kepada semua pemimpin
agama untuk tidak memolitisasi agama. Sebab, di belahan dunia mana pun,
keberagaman harus tetap dijunjung tinggi. Hanya saja, “Saat ini sudah terjadi
pergeseran nilai di kalangan para pemimpin agama. Mereka cenderung materialis,
kejar harta dan takhta”, demikian pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (Fisipol) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Yusuf Kuahaty.
Pakar ilmu politik ini justru mengingatkan para
pemimpin agama untuk selalu mengawasi perilaku politik para politisi baik
pimpinan partai politik, para anggota Dewan di semua tingkatan, para gubernur,
wakil gubernur, dan bupati/walikota. Sebab, tugas sehari-hari para pimpinan
partai politik, dan para anggota Dewan adalah memberikan pendidikan politik
yang benar dan baik kepada masyarakat. Bukan politik memecah-belah, politik
provokasi, politik kelompok kecil untuk memenangkan kelompok besar, dan lain
sebagainya. “Keharmonisan dan kerukunan beragama dan antarumat beragama harus
tetap terpelihara baik. Hal ini untuk menghindari gejolak sosial di dalam
masyarakat dan di kalangan umat”, tandas Kuahaty. (*)
Krisis
Nilai Merasuki Pemimpin Agama
Oleh: Jefry Luik
Jusuf Kuahaty |
PERUBAHAN politik global ikut menyeret para pemimpin
agama. Getaran perubahan itu terasa pula di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Para pemimpin umat itu kemudian mendapat profesi tambahan sebagai
politisi. Tak segan-segan pula mereka
terlibat politik praktis. Ada kiyai, haji, hajah, pendeta dan pastor yang
menjadi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati dan anggota Dewan.
Memang, banyak yang calon tapi sedikit yang ‘jadi’.
Kebanyakan di antara para pemimpin umat itu yang
menjadi tim sukses dengan hanya menjadi pendoa setia dari rumah dan mimbar
umat. Segelintir di antaranya bahkan
mendirikan partai politik dengan berbagai alasan.
Pertanyaannya, mengapa para pemimpin agama cenderung
terlibat politik praktis? Apakah satu pribadi bisa mengemban dua peran berbeda
sebagai pemimpin umat dan politisi yang konsisten dalam memperjuangkan
keadilan, kebenaran, moralitas, hak azasi manusia, dan nilai-nilai lainnya
dalam kehidupan bersama?
Pengamat politik Universitas
Nusa Cendana Kupang, Jusuf Kuahaty, yang ditemui TIMORense mengatakan, bila seorang
pelayan yang hakekatnya melayani umat tapi memutuskan untuk melepaskan jubahnya
untuk berpolitik, merupakan keadaan yang sangat disayangkan. “Menurut saya,
sebetulnya telah terjadi pergeseran dan krisis nilai yang sangat luar biasa.
Nilai-nilai moralitas yang dianggap sakral dilangkahi begitu saja dan pemimpin
agama lebih memilih terlibat politik praktis”, keluhnya.
Baginya, profesi seorang
pemimpin umat perlu mengetahui politik. Sebab, umatnya adalah juga masyarakat yang
perlu mendapat pemahaman dan pengetahuan
yang benar dan jujur akan politik yang santun. Tetapi, apabila seorang pemimpin
umat terlibat politik praktis akan mengancam kerukunan umatnya. “Tentu realitas
ini kita kembalikan pada aturan lembaga keagamaan masing-masing. Saya kira yang
terpenting kembali pada pribadi orangnya”, kata Kuahaty.
Dia punya kekuatiran, saat
ini ada pengaruh materialisme yang sangat kuat menerpa kehidupan manusia. Hal
ini tidak mengenal siapa pun orangnya. Para pemimpin umat bisa langsung berubah
pola kehidupannya. Nilai materialisme dan kedudukan jabatan politik dianggap begitu
menggiurkan. Segala cara bisa dilakukan, halal maupun haram.
Menurut Kuahaty, Pemilu merupakan contoh
nyata politik praktis yang menyedot perhatian para pemimpin agama. Tidak hanya
bicara di media massa tetapi juga ikut berkompetisi dalam politik. Tujuannya
untuk memenangkan kepentingan kelompoknya. Seperti pemikiran Machiavelli, untuk mencapai tujuan politik terutama aspek etika
dan moral tidak dipergunakan dan hanya ada tujuan politik. Sehingga, segala
cara mencapai tujuan sangat dihalalkan. Termasuk, memanfaatkan berbagai sarana
seperti lembaga keagamaan, kekeluargaan atau lembaga Pemerintah.
“Hingga kini, pemikiran politik
seperti itu selalu ada pada orang yang berpolitik. Yang berbeda adalah pengemasannya.
Ada yang dengan cara halus dan elegan tapi ada dengan cara frontal atau kasar dan
itu terlihat”, jelas bapak tiga anak ini.
Untuk itu, gaya berpolitik di
Indonesia terkhususnya NTT, saran Kuahaty, harus ada komitmen dan tanggungjawab
bersama. Perlu ada kesepakatan yang dibuat semua lembaga daerah penyelenggara
Pemilu, termasuk lembaga adat, tokoh
masyarakat, lembaga agama dan para figur kandidat untuk secara bersama-sama menjalani
dan ikut mengawasi kesepakatan tersebut agar terjadi proses politik yang santun.
“Apabila tidak ada kesepakatan
bersama maka yang terjadi adalah pemikiran
Machiavelli yang akan mendominasi, sehingga para politisi akan secara bebas menggunakan
sarana apapun mencapai tujuan politiknya karena ketatnya persaingan mencapai
kemenangan politik. Selama masih ada
politik, pasti orang akan terbawa dengan pandangan Machiavelli. Bayangkan saja,
jika semua kandidat ingin menang, pasti segala cara akan dipakai”, tandasnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Nusa Cendana itu berharap Pemilukada
Gubernur dan Wakil Gubernur NTT yang akan dihelat 18 Maret 2013 mendatang, tidak
perlu terjadi politisasi agama sehingga menghalalkan segala cara mencapai
tujuan politik. Lembaga KPUD Propinsi NTT tentu perlu berperan maksimal menjadi
jembatan bagi tim sukses dan semua kandidat yang mengikuti Pilkada NTT. Caranya
dengan membuat kesepakatan bersama untuk tidak memanfaatkan sarana peribadatan
mencari dukungan. Apabila ada kandidat melanggarnya, badan pengawas dan masyarakat pemilih perlu menilai
kredibilitas maupun integritas kandidat tersebut.
Untuk lembaga keagamaan, harus
bertindak tegas dan jangan membuka ruang untuk melakukan aktivitas yang mengarahkan
umatnya memberi dukungan politik pada kandidat tertentu. Sebab, jika itu
terjadi, kegiatan peribadatan yang selama ini dianggap sakral telah tercemar dengan
aktivitas politik. Karena itu masyarakat dan para kandidat diharapkan lebih
pada bertarung yang mendidik dengan konsep program yang bertujuan bagi
kesejahtraan rakyat.
“Jika itu harus melalui
lembaga kegamaan maka harus dikemas dengan tidak memihak”, tandas Kuahaty.
Dia mengakui, selama ini
memang lembaga keagamaanlah yang sering
menjadi target para politisi untuk mendapat simpati. Padahal, dalam politik praktis, karakter perilaku
pemilih berbeda-beda. Ada pemilih elit yang paham politik. Tetapi, ada pula pemilih
yang berorientasi pada program serta konsep dan ide. Namun ada pemilih yang orientasinya
pada kedekatan keluarga dan suku. Ada pemilih pula yang lebih mengutamakan kedekatan
emosional seperti di kalangan jemaat gereja.
“Sebenarnya rakyat tanpa informasi program pun sudah memiliki
pilihan. Jika kita menjatuhkan pilihan pada pemimpin yang salah, tentu itu kegagalan
kita, kegagalan jemaat atau umat. Karena itu masyarakat harus malu karena salah
pilih. Lembaga agama yang selama ini dianggap kuat memengaruhi pemilih
diharapkan dapat kembali menjalankan fungsi dan perannya membina umat”, katanya.
(*)
Sinode akan Terbitkan
Suara Gembala
Untuk menghadapi pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Gubernur dan Wakil Gubernur NTT 2013, Sinode GMIT akan mengeluarkan surat
pastoral atau suara gembala sebagai seruan bagi seluruh jemaat Gereja Masehi
Injili di Timor (GMIT)
yang juga adalah masyarakat pemilih untuk selektif menjatuhkan pilihannya kepada
pasangan kandidat.
Oleh : Jefry
Luik
Pdt. Robert S. Litelnoni |
Ketua Sinode GMIT Pdt. Robert S. Litelnoni mengatakan,
Suara Gembala merupakan bentuk sikap gereja bagi warga jemaatnya yang adalah masyarakat
pemilih untuk mengambil bagian dan menentukan pilihan berdasarkan kriteria yang
benar. Tetapi, Suara Gembala itu baru
akan diterbitkan setelah ada keputusan penetapan pasangan calon dari KPU
Propinsi NTT.
Sebab, menurut dia, gereja tidak berpolitik dan itu
yang dianut GMIT. Hanya lembaga GMIT mempunyai kewajiban moral mendoakan agar
perjalanan proses Pemilukada NTT terlaksana dengan aman dan tertib.
Dalam imbauannya nanti, Sinode GMIT akan menganjurkan
mssa jemaatnya untuk memilih pemimpin yang jujur, bisa mengayomi dan merangkul
semua pihak. Sebab, masyarakat NTT multietnis. Dia berharap tidak terjadi ‘perang’
isu etnis dan agama. Sebab, isu-isu itu akan mencederai persekutuan yang telah
lama dibangun bersama. “Pilihlah pemimpin, siapa pun dia, yang penting
pemimpinnya baik dan bisa merangkul dan menyejahterakan masyarakat NTT. Saya
kira itu sikap resmi gereja”, pinta pemimpin tertinggi Sinode GMIT itu.
Sinode GMIT secara kelembagaan mengakui, tidak tertutup
kemungkinan ada pihak tertentu yang memiliki kepentingan bagi figur kandidat
tertentu. Kemudian, melalui berbagai cara menggunakan sarana rumah gereja untuk
aktivitas politik.
Aktivitas politik seperti itu, menurut Litelnoni,
sesuai pemantauan di lapangan sudah ada dan terjadi. Tetapi, tidak semua
gereja. Untuk itu, Suara Gembala sangat menentukan dan harus dibacakan di
gereja-gereja. Dengan demikian, semua jemaat mengetahui sikap lembaga Sinode
GMIT. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kepentingan tim sukses para
kandidat menggunakan simbol gereja untuk memengaruhi pilihan jemaat GMIT.
Sedangkan karyawan Sinode GMIT (pendeta, red) akan
mendapat surat khusus untuk memberikan pemahaman normatif dan kecerdasan
jemaatnya dalam menentukan pilihan. Tetapi, bukan mengarahkan pemilih (jemaat, red)
untuk menentukan pilihannya. Sebab, sesuai peraturan lembaga, Pendeta tidak
boleh terlibat politik praktis. “Peraturannya jelas, dari pokok pikiran eklesialogi
bagaimana sikap gereja terkait dengan politik. Kita tidak ingin bangun politik
aliran. Sebab, ini bukan negara agama. Islam yang mayoritas saja, tidak
membangun politik aliran. Saya kira itu sangat merugikan. Sebagai contoh, partai
berdasarkan agama saja mengalami kemunduran. Ini cermin demokrasi Indonesia
semakin baik”, jelas Litelnoni.
Dalam amatannya, ada Pendeta GMIT yang telah memilih
terjun dalam dunia politik dengan menjadi pengurus Parpol dan menjadi anggota
DPRD. Untuk itu, Sinode secara kelembagaan menginstruksikan bagi Pendeta-pendeta
tersebut memilih: menjadi pendeta atau
politisi. Sebab, dengan menjadi Pendeta dan Politisi, konflik interest sangat
kuat. “Tidak bisa dua-duanya dijalani bersama. Kalau pilih politik, silahkan, tapi
tinggalkan jabatan sebagai pelayan GMIT”,
tegas Litelnoni.
Dia menjelaskan, apabila Pendeta ketahuan terlibat politik
praktis dan ada pengaduan terjadi perpecahan dalam jemaat, sampai terjadi
keributan di kalangan jemaat, lembaga akan memberlakukan skors pada pendeta
tersebut.
“Banyak pendeta terlibat politik praktis karena
faktor kedekatan dengan figur tertentu dalam partai. Jika Pendeta terlibat politik
akan mendapat effect balik. Sehingga, kedepannya forum persidangan GMIT dan sidang
Klasis dijadikan ajang pendidikan politik yang baik dan benar. Kita jangan
bicara Surga saja tetapi ada materi pendidikan politik agar kita lebih paham sebab
keterlibatan kita lebih banyak karena hubungan emosional”, imbuhnya.
Secara pribadi, Litelnoni sadar kalau sebagai
pemimpin gereja dirinya harus bersikap netral. “Walaupun kakak kandung saya
juga ikut Pilgub nantinya, saya bilang kepada teman-teman Pendeta untuk
didoakan, tetapi kita tidak boleh terlibat jauh karena akan mencederai semua yang
baik”, tegasnya.
Menurut dia, pendidikan politik dirasanya sangat penting
diberikan kepada para pendeta. Sebab, para fungsionaris gereja selama ini tidak
mendapat pendidikan politik yang memadai, lebih pada pendidikan teologi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar