Selasa, Februari 19, 2013

Kalau Pemimpin Agama Jadi Broker Politik



Kalau Pemimpin Agama Jadi Broker Politik
Oleh: Cyriakus Kiik
Tahapan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang berjalan. Setelah selama seminggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Propinsi NTT menerima pendaftaran terhitung 26 Desember 2012 sampai dengan 2 Januari 2013, para pasangan bakal calon (balon) gubernur dan wakil gubernur pada dua hari kemudian, yakni 4 dan 5 Januari 2013 melakukan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof dr WZ Johannes Kupang. 

 
Enam pasangan balon Gubernur dan Wakil Gubernur mengikuti proses ini. Keenam balon pasangan itu adalah Pasangan Frenly (Frans Lebu Raya-Benny Litelnoni), Cristal (Christian Rotok-Abraham Liyanto), Esthon-Paul (Esthon Foenay-Paul Edmundus Tallo), TUNAS (Ibrahim Agustinus Medah-Emanuel Melkiades Lakalena), BKH-Nope (Benny Kabur Harman-Willem Nope) dan BBM (Benny Bosu-Melkianus Adoe). 
Pasangan-pasangan politik ini memiliki penasehat rohani yang diambil dari para pemimpin agama: pendeta, pastor, haji, hajah dan kiyai. Dalam pengalaman saya, peran para pemimpin agama ini tidak hanya sekedar memberi nasehat atau mendoakan jagoannya untuk menang. Tetapi, mereka juga menjadi tim sukses. Dengan demikian, mereka ikut mengatur dan terlibat aktif membuat strategi untuk memenangkan pasangan calonnya. Itu berarti para pemimpin agama ini terlibat aktif dalam politik praktis. Saya boleh bilang, para pemimpin agama demikian justru sedang menjadi broker politik. Mengapa?
Dalam Hukum Kanon yang dianut Gereja Katolik, para pastor dan klerus dilarang berpolitik paktis. Baik menjadi pengurus partai politik, mencalonkan diri menjadi gubernur dan bupati/walikota atau menjadi calon anggota Dewan. Apabila ada pastor atau klerus yang terlibat politik praktis perlu mengundurkan diri dari pelibatan itu.
Pakar komunikasi Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Dr P. Eduardus Dosi, SVD,MSi beralasan, pengunduran diri dari pelibatan itu memang penting untuk memelihara kerukunan umat. Sebab, pemimpin agama khusus para pastor dan klerus tidak dibenarkan Gereja Katolik untuk berpihak pada orang atau kelompok tertentu. “Kami hadir untuk semua orang dan semua kelompok. Kita tidak boleh hanya memihak partai atau orang tertentu”, kata pastor jebolan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Maumere-Flores itu.  
Menurut doktor komunikasi lulusan Universitas Indonesia Jakarta itu, keberpihakan pastor dan klerus yang dimaksud Hukum Kanon adalah pemberdayaan umat di bidang sosial  ekonomi. Hal ini dimaksudkan untuk membantu mereka yang miskin dan papa.  Supaya harkat dan martabat mereka sama dengan umat lainnya yang hidup berkecukupan. Pun tidak terjadi perpecahan atau keretakan di antara umat. Baik sesama umat Katolik, maupun kerukunan umat Katolik dengan sesama umat beragama lainnya.
“Para pastor jangan lupa, katolik itu umum, sehingga sebagai pemimpin agama Katolik harus melayani semua umat beragama. Tidak sebatas umat Katolik tetapi untuk semua umat beragama”, tandasnya.
Edu, begitu akrabnya Pater Eduardus, tidak mau berpendapat banyak soal para pastor dan klerus yang terlibat politik praktis. Dia hanya mengingatkan para pastor dan klerus dengan menyebutkan sejumlah ketentuan Hukum Kanon dan Ajaran Sosial Gereja Katolik yang mengatur pemihakan para pastor dan klerus.  
Untuk hal yang sama, Direktur Pusat Penelitian Manse Nsae Dr P. Gregorius Neonbasu melihat perilaku para pastor sudah sangat-sangat krusial.  Sebab, banyak pastor yang terlibat politik praktis. Padahal, sebagaimana diungkapkan koleganya pakar komunikasi Unwira Kupang Dr Edu Dosi, dilarang Hukum Kanon dan Ajaran Sosial Gereja. Banyak umat Katolik yang  bertanya kepadanya, apakah pastor yang terlibat politik praktis dibenarkan Gereja Katolik? Untuk itu, Gregor, begitu Pater Gregorius biasa disapa, Ordinalis Wilayah atau Uskup harus mengawasi secara ketat para pastor dan klerus yang terlibat politik praktis. Sebab, bagi Gregor, perilaku pastor tertentu yang    demikian berpeluang memecah-belah umat katolik. Kerukunan antarumat beragama juga terancam. Sesama umat Katolik sudah tidak memandang sebagai saudara seiman. Boleh dibilang ada musuh dalam selimut. Ada perilaku-perilaku pastor dan klerus yang tidak benar di Gereja Katolik. “Ini yang saya bilang tadi, perlu ada pengawasan dari Ordinalis Wilayah atau Uskup”, demikian Gregor.
Dalam pengalaman Gregor, ada umat yang bertanya, “Pastor, kenapa pastor ini selalu kotbah begini. Dia kotbah bukan untuk membahas bacaan-bacaan Kitab Suci tetapi lebih banyak omong politik dan kritik pemerintah”. 
Kalau ada pertanyaan begitu, Gregor selalu menghindar menjawabnya. Bukan tidak tahu jawabannya tetapi jangan sampai ada kesan ada pastor yang benar dan pastor tidak benar, pastor yang baik dan tidak baik, ada pastor pintar dan pastor bodoh.
Ada umat yang bahkan membuat curahan hati kepadanya. “Pastor, pastor A selalu kotbah tentang partai merah. Sedangkan pastor si B kotbah tentang partai biru. Memangnya mereka pengurus partai? Jangan sampai mereka sudah dapat uang? Itu kotbah keselamatan atau kotbah uang”, begitu cerita Gregor tentang pertemuannya dengan seorang ibu di salah satu Gereja Katolik di daratan Timor.
Baginya, cerita dan pertanyaan-pertanyaan umat mengisyaatkan kalau mereka sudah tidak suka dengan pastor dan klerus atau pemimpin agama yang terlibat politik praktis.
Dalam moment Pilgub seperti saat ini, Gereja Katolik bisa saja lalai. Melalui para pemimpin Gereja lokal (paroki), bisa saja terjadi dukung-mendukung terhadap pasangan calon tertentu. Frans Lebu Raya, misalnya, bisa saja mendatangi komunitas-komunitas katolik seperti biara-biara, kelompok-kelompok kategorial, lembaga-lembaga pendidikan seperti seminari baik seminari menengah maupun seminari tinggi.
Frans juga bisa mendatangi Uskup Larantuka sebagai Pemimpin Keuskupan asalnya, meminta restu. Uskup kemudian menyerukan kepada umatnya mendukung Frans. Soal nanti hari “H” memilih Frans atau tidak bukan urusan.
Frans bisa saja datang tunjuk muka di Seminari Tinggi Ritapiret dan Ledalero di Maumere. Cukup bertemu sebentar dengan pimpinan masing-masing lembaga, kemudian bicara sedikit di depan para calon imam projo Ritapiret dan calon misionaris Serikat Sabda Allah (SVD). Semuanya tahu kalau Frans sedang kampanye. Untuk mendapat dukungan pemilih pemula, Frans bisa mengunjungi juga seminari menengah yang ada di seluruh wilayah NTT.
Atas alasan Katolik tadi, para pastor dan klerus, mahasiswa dan siswa seminari bisa saja memberi dukungan tanpa reserve kepada Frans dan pasangannya. Sekali berkunjung dalam lima tahun masa jabatan, bisa menjadi ukup pengampunan atas berbagai kelalaiannya bagi umat atau rakyat. Sekali lagi, soal nanti mereka memilih Frans atau tidak, terserah mereka.
Hal serupa bisa dilakukan Benny Kabur Harman dan Benny Bosu yang sama-sama Katolik. Apabila Frans, Benny Harman dan Benny Bosu memanfaatkan massa umat Katolik, jangan heran kalau kemudian umat Katolik terpecah-pecah menjadi: umat Katolik Frans dan umat Katolik dua Benny. Padahal, massa umat Katolik Frans, Benny Harman dan Benny Bosu adalah massa umat calon pemilih yang sama di daerah yang sama pula. Kalau pasangan Frans memenangi Pilgub, massa umat Katolik dua Benny kalah, pasti umat Katolik yang sama pula yang berantem. Mereka saling menjadi musuh. Relasi kekatolikannya retak. Tidak rukun.  Karena itulah, para pemimpin agama khususnya para pastor dan klerus diharapkan tidak menjadi broker politik.
Lalu, bagaimana dengan pendeta yang terlibat politik praktis? Di lingkungan Gereja Protestan, memang banyak sekte. Ada sekte yang mmbenarkan pendeta berpolitik praktis. Di Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), misalnya, ada aturan dalam Tata Dasar GMIT yang membenarkan pendeta berpolitik praktis. Tetapi, tidak semua pendeta. “Pendeta yang bisa berpolitik praktis adalah pendeta yang tidak sedang menjabat pendeta jemaat”, katanya.
Nitti menyadari kalau pendeta yang berpolitik praktis merupakan salah satu cara pelayanan Pemimpin Agama kepada umat. Tetapi, perlu diwaspadai sehingga tidak memecah-belah umat. Hanya, peluang ‘memecah-belah’ itu sangat kecil. Jemaat juga sudah cerdas membedakan politik yang membuat umat semakin harmonis, rukun dan damai, daripada politik ‘memecah-belah’.
Lain Pdt Nitti, lain Rev. Robert Litelnoni, Ketua Sinode GMIT. Menurut dia, Gereja melarang pendeta berpolitik praktis. Tetapi, pendidikan politik, boleh. Pendidikan politik dimaksud bisa disampaikan kepada jemaat dalam forum-forum persidangan Sinode dan  sidang Klasis. Tidak perlu menjadi pengurus partai atau anggota Dewan. Karena itulah, terkait Pilgub NTT 2013, Sinode secara kelembagaan akan menerbitkan Suara Gembala untuk menghindari adanya hasutan politik bagi jemaat yang berbuntut pada terpecah-belahnya jemaat.
Apabila perilaku para pendeta ‘memecah-belah” jemaat, di tubuh GMIT bisa muncul beberapa kelompok kecil. Mereka bisa saja siaga atau dipersiapkan khusus untuk menghadapi Pilgub NTT saat ini.  Misalnya, kelompok Ketua Sinode, Sekretaris Sinode dan anggota Majelis Sinode. Belum lagi mereka yang sebelumnya menduduki jabatan ini, seperti Ibrahim Agustinus Medah dan Esthon Foenay. Medah dan Esthon yang sama-sama pernah menjadi anggota Majelis Sinode, tentu mempunyai massa jemaat sendiri-sendiri. Massa jemaat GMIT bisa saja menjadi tim TUNAS (Medah-Lakalena) atau Esthon-Paul tanpa diminta.  Atau, kalau saja dua pasangan ini berani dengan menghalalkan segala cara sebagaimana diimpikan Machiavelli, bisa saja mereka mendatangi massa jemaat GMIT dimana saja atau melalui Badan Pengurus Sinode itu sendiri.
Hal yang sama bisa dilakukan Abraham Liyanto yang saat ini menjadi salah satu anggota Majelis Sinode. Sedangkan Ketue Simode Rev. Robert S. Litelnoni bisa saja bermain untuk kakaknya Benny Litelnoni, yang berpasangan dengan Frans Lebu Raya, sebagai calon wakil gubernur
Informasi tercecer yang diperoleh TIMORense menyebutkan, beberapa waktu lalu, Sekretaris Sinode Benjamin Nara Lulu diundang panitia salah satu Gereja Kristen besar di Kota Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Benjamin dalam jabatannya sebagai Sekretaris Sinode diundang untuk meresmikan gereja yang baru selesai dibangun itu. Yang menjadi pertanyaan, acara peresmian sejak awal hingga pertengahan justru diatur sekelompok orang yang teridentifikasi sebagai orang-orang PDI Perjuangan. Orang-orang itu bicara paling banyak. Sekretaris Sinode Benjamin Nara Lalu yang direncanakan hadir untuk meresmikan gereja tersebut malahan tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Dikabarkan, Benjamin kemudian meninggalkan ruangan begitu saja sebelum acara selesai. Melihat Benjamin keluar ruangan, sebagian besar jemaat juga pulang. Tidak diperoleh informasi jelas, siapa yang  meresmikan gereja tersebut.
Sebagian besar jemaat yang hadir kemudian membaca acara itu didesain sebagai ajang kampanye Benny Litelnoni, calon wakil gubernur yang berpasangan dengan Frans Lebu Raya.
Mantan imam projo Keuskupan Atambua Amandus Nahas justru berbicara keras. Dia bilang, pemimpin umat yang  berpolitik praktis tidak tabu. Justru dengan berpolitik praktis, penyelamatan dunia menjadi nyata. Sebab, menurut dia, karya pastoral itu harus mendunia. Harus masuk ke semua lini. Termasuk dunia hitam sekali pun. Tetapi, masuk untuk menggarami. Sehingga, yang bengkok jadi lurus, kotor jadi bersih, yang gelap jadi terang.
Sama halnya dunia politik praktis,  bagi Amandus, sebetulnya pemimpin umat hadir di sana untuk memberikan warna pendidikan politik yang santun, bermoral dan bernurani. Sebab, dalam aturan hukum Kanonik atau pun Dokumen Gereja Katolik tidak ada satu pun larangan bagi pemimpin umat (pastor) terlibat politik praktis. Ajaran Agama Katolik justru tidak pernah membatasi seseorang (pastor) untuk berkarya.
Perdebatan dengan alasan apa pun bisa terjadi terkait Pilgub NTT saat ini.  Petuah pakar politik Dr. Jerry Massie D.Min, PhD patut didengar dan direnungkan. Dia mengingatkan semua umat beragama termasuk para pemimpinnya, “Seseorang yang mencampur-adukan dua hal berbeda, yakni politik dan agama, adalah keliru. Kalau dua hal ini dipadukan akan berakibat fatal yang disebut sinkritisme. Padahal, apabila seseorang menerapkan politik etis politeuma secara benar, mereka akan terhindar dari ketamakan, keserakahan, dan keegoisan”.
Sikap awas keras diberikan pula kepada semua pemimpin agama untuk tidak memolitisasi agama. Sebab, di belahan dunia mana pun, keberagaman harus tetap dijunjung tinggi. Hanya saja, “Saat ini sudah terjadi pergeseran nilai di kalangan para pemimpin agama. Mereka cenderung materialis, kejar harta dan takhta”, demikian pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Yusuf Kuahaty.
Pakar ilmu politik ini justru mengingatkan para pemimpin agama untuk selalu mengawasi perilaku politik para politisi baik pimpinan partai politik, para anggota Dewan di semua tingkatan, para gubernur, wakil gubernur, dan bupati/walikota. Sebab, tugas sehari-hari para pimpinan partai politik, dan para anggota Dewan adalah memberikan pendidikan politik yang benar dan baik kepada masyarakat. Bukan politik memecah-belah, politik provokasi, politik kelompok kecil untuk memenangkan kelompok besar, dan lain sebagainya. “Keharmonisan dan kerukunan beragama dan antarumat beragama harus tetap terpelihara baik. Hal ini untuk menghindari gejolak sosial di dalam masyarakat dan di kalangan umat”, tandas Kuahaty. (*) 

Krisis Nilai Merasuki Pemimpin Agama
Oleh: Jefry Luik

Jusuf Kuahaty
PERUBAHAN politik global ikut menyeret para pemimpin agama. Getaran perubahan itu terasa pula di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Para pemimpin umat itu kemudian mendapat profesi tambahan sebagai politisi.  Tak segan-segan pula mereka terlibat politik praktis. Ada kiyai, haji, hajah, pendeta dan pastor yang menjadi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati dan anggota Dewan. Memang, banyak yang calon tapi sedikit yang ‘jadi’.
Kebanyakan di antara para pemimpin umat itu yang menjadi tim sukses dengan hanya menjadi pendoa setia dari rumah dan mimbar umat.  Segelintir di antaranya bahkan mendirikan partai politik dengan berbagai alasan.
Pertanyaannya, mengapa para pemimpin agama cenderung terlibat politik praktis? Apakah satu pribadi bisa mengemban dua peran berbeda sebagai pemimpin umat dan politisi yang konsisten dalam memperjuangkan keadilan, kebenaran, moralitas, hak azasi manusia, dan nilai-nilai lainnya dalam kehidupan bersama?
Pengamat politik Universitas Nusa Cendana Kupang, Jusuf Kuahaty, yang ditemui TIMORense mengatakan, bila seorang pelayan yang hakekatnya melayani umat tapi memutuskan untuk melepaskan jubahnya untuk berpolitik, merupakan keadaan yang sangat disayangkan. “Menurut saya, sebetulnya telah terjadi pergeseran dan krisis nilai yang sangat luar biasa. Nilai-nilai moralitas yang dianggap sakral dilangkahi begitu saja dan pemimpin agama lebih memilih terlibat politik praktis”, keluhnya.
Baginya, profesi seorang pemimpin umat perlu mengetahui politik. Sebab, umatnya adalah juga masyarakat yang perlu mendapat  pemahaman dan pengetahuan yang benar dan jujur akan politik yang santun. Tetapi, apabila seorang pemimpin umat terlibat politik praktis akan mengancam kerukunan umatnya. “Tentu realitas ini kita kembalikan pada aturan lembaga keagamaan masing-masing. Saya kira yang terpenting kembali pada pribadi orangnya”,  kata Kuahaty.
Dia punya kekuatiran, saat ini ada pengaruh materialisme yang sangat kuat menerpa kehidupan manusia. Hal ini tidak mengenal siapa pun orangnya. Para pemimpin umat bisa langsung berubah pola kehidupannya. Nilai materialisme dan kedudukan jabatan politik dianggap begitu menggiurkan. Segala cara bisa dilakukan, halal maupun haram.
Menurut Kuahaty, Pemilu merupakan contoh nyata politik praktis yang menyedot perhatian para pemimpin agama. Tidak hanya bicara di media massa tetapi juga ikut berkompetisi dalam politik. Tujuannya untuk memenangkan kepentingan kelompoknya.  Seperti pemikiran Machiavelli, untuk mencapai tujuan politik terutama aspek etika dan moral tidak dipergunakan dan hanya ada tujuan politik. Sehingga, segala cara mencapai tujuan sangat dihalalkan. Termasuk, memanfaatkan berbagai sarana seperti lembaga keagamaan, kekeluargaan atau lembaga Pemerintah.
“Hingga kini, pemikiran politik seperti itu selalu ada pada orang yang berpolitik. Yang berbeda adalah pengemasannya. Ada yang dengan cara halus dan elegan tapi ada dengan cara frontal atau kasar dan itu terlihat”, jelas bapak tiga anak ini.
Untuk itu, gaya berpolitik di Indonesia terkhususnya NTT, saran Kuahaty, harus ada komitmen dan tanggungjawab bersama. Perlu ada kesepakatan yang dibuat semua lembaga daerah penyelenggara Pemilu,  termasuk lembaga adat, tokoh masyarakat, lembaga agama dan para figur kandidat untuk secara bersama-sama menjalani dan ikut mengawasi kesepakatan tersebut agar terjadi proses politik yang santun.
“Apabila tidak ada kesepakatan bersama maka yang terjadi adalah  pemikiran Machiavelli yang akan mendominasi, sehingga para politisi akan secara bebas menggunakan sarana apapun mencapai tujuan politiknya karena ketatnya persaingan mencapai kemenangan politik.  Selama masih ada politik, pasti orang akan terbawa dengan pandangan Machiavelli. Bayangkan saja, jika semua kandidat ingin menang, pasti segala cara akan dipakai”, tandasnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Nusa Cendana itu berharap Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur NTT yang akan dihelat 18 Maret 2013 mendatang, tidak perlu terjadi politisasi agama sehingga menghalalkan segala cara mencapai tujuan politik. Lembaga KPUD Propinsi NTT tentu perlu berperan maksimal menjadi jembatan bagi tim sukses dan semua kandidat yang mengikuti Pilkada NTT. Caranya dengan membuat kesepakatan bersama untuk tidak memanfaatkan sarana peribadatan mencari dukungan. Apabila ada kandidat melanggarnya,  badan pengawas dan masyarakat pemilih perlu menilai kredibilitas maupun integritas kandidat tersebut.
Untuk lembaga keagamaan, harus bertindak tegas dan jangan membuka ruang untuk melakukan aktivitas yang mengarahkan umatnya memberi dukungan politik pada kandidat tertentu. Sebab, jika itu terjadi, kegiatan peribadatan yang selama ini dianggap sakral telah tercemar dengan aktivitas politik. Karena itu masyarakat dan para kandidat diharapkan lebih pada bertarung yang mendidik dengan konsep program yang bertujuan bagi kesejahtraan rakyat.
“Jika itu harus melalui lembaga kegamaan maka harus dikemas dengan tidak memihak”, tandas Kuahaty.
Dia mengakui, selama ini memang lembaga keagamaanlah yang  sering menjadi target para politisi untuk mendapat simpati.  Padahal, dalam politik praktis, karakter perilaku pemilih berbeda-beda. Ada pemilih elit yang paham politik. Tetapi, ada pula pemilih yang berorientasi pada program serta konsep dan ide. Namun ada pemilih yang orientasinya pada kedekatan keluarga dan suku. Ada pemilih pula yang lebih mengutamakan kedekatan emosional seperti di kalangan jemaat gereja.
“Sebenarnya rakyat tanpa informasi program pun sudah memiliki pilihan. Jika kita menjatuhkan pilihan pada pemimpin yang salah, tentu itu kegagalan kita, kegagalan jemaat atau umat. Karena itu masyarakat harus malu karena salah pilih. Lembaga agama yang selama ini dianggap kuat memengaruhi pemilih diharapkan dapat kembali menjalankan fungsi dan perannya membina umat”, katanya. (*)


Sinode akan Terbitkan Suara Gembala

Untuk menghadapi pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur NTT 2013, Sinode GMIT akan mengeluarkan surat pastoral atau suara gembala sebagai seruan bagi seluruh jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang juga adalah masyarakat pemilih untuk selektif menjatuhkan pilihannya kepada pasangan kandidat.

Oleh : Jefry Luik  

Pdt. Robert S. Litelnoni
Ketua Sinode GMIT Pdt. Robert S. Litelnoni mengatakan, Suara Gembala merupakan bentuk sikap gereja bagi warga jemaatnya yang adalah masyarakat pemilih untuk mengambil bagian dan menentukan pilihan berdasarkan kriteria yang benar.  Tetapi, Suara Gembala itu baru akan diterbitkan setelah ada keputusan penetapan pasangan calon dari KPU Propinsi NTT.
Sebab,  menurut dia, gereja tidak berpolitik dan itu yang dianut GMIT. Hanya lembaga GMIT mempunyai kewajiban moral mendoakan agar perjalanan proses Pemilukada NTT terlaksana dengan aman dan tertib.
Dalam imbauannya nanti, Sinode GMIT akan menganjurkan mssa jemaatnya untuk memilih pemimpin yang jujur, bisa mengayomi dan merangkul semua pihak. Sebab, masyarakat NTT multietnis. Dia berharap tidak terjadi ‘perang’ isu etnis dan agama. Sebab, isu-isu itu akan mencederai persekutuan yang telah lama dibangun bersama. “Pilihlah pemimpin, siapa pun dia, yang penting pemimpinnya baik dan bisa merangkul dan menyejahterakan masyarakat NTT. Saya kira itu sikap resmi gereja”, pinta pemimpin tertinggi Sinode GMIT itu.
Sinode GMIT secara kelembagaan mengakui, tidak tertutup kemungkinan ada pihak tertentu yang memiliki kepentingan bagi figur kandidat tertentu. Kemudian, melalui berbagai cara menggunakan sarana rumah gereja untuk aktivitas politik.
Aktivitas politik seperti itu, menurut Litelnoni, sesuai pemantauan di lapangan sudah ada dan terjadi. Tetapi, tidak semua gereja. Untuk itu, Suara Gembala sangat menentukan dan harus dibacakan di gereja-gereja. Dengan demikian, semua jemaat mengetahui sikap lembaga Sinode GMIT. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kepentingan tim sukses para kandidat menggunakan simbol gereja untuk memengaruhi pilihan jemaat GMIT.
Sedangkan karyawan Sinode GMIT (pendeta, red) akan mendapat surat khusus untuk memberikan pemahaman normatif dan kecerdasan jemaatnya dalam menentukan pilihan. Tetapi, bukan mengarahkan pemilih (jemaat, red) untuk menentukan pilihannya. Sebab, sesuai peraturan lembaga, Pendeta tidak boleh terlibat politik praktis. “Peraturannya jelas, dari pokok pikiran eklesialogi bagaimana sikap gereja terkait dengan politik. Kita tidak ingin bangun politik aliran. Sebab, ini bukan negara agama. Islam yang mayoritas saja, tidak membangun politik aliran. Saya kira itu sangat merugikan. Sebagai contoh, partai berdasarkan agama saja mengalami kemunduran. Ini cermin demokrasi Indonesia semakin baik”, jelas Litelnoni.
Dalam amatannya, ada Pendeta GMIT yang telah memilih terjun dalam dunia politik dengan menjadi pengurus Parpol dan menjadi anggota DPRD. Untuk itu, Sinode secara kelembagaan menginstruksikan bagi Pendeta-pendeta  tersebut memilih: menjadi pendeta atau politisi. Sebab, dengan menjadi Pendeta dan Politisi, konflik interest sangat kuat. “Tidak bisa dua-duanya dijalani bersama. Kalau pilih politik, silahkan, tapi tinggalkan jabatan sebagai pelayan GMIT”, tegas Litelnoni.
Dia menjelaskan, apabila Pendeta ketahuan terlibat politik praktis dan ada pengaduan terjadi perpecahan dalam jemaat, sampai terjadi keributan di kalangan jemaat, lembaga akan memberlakukan skors pada pendeta tersebut.
“Banyak pendeta terlibat politik praktis karena faktor kedekatan dengan figur tertentu dalam partai. Jika Pendeta terlibat politik akan mendapat effect balik. Sehingga, kedepannya forum persidangan GMIT dan sidang Klasis dijadikan ajang pendidikan politik yang baik dan benar. Kita jangan bicara Surga saja tetapi ada materi pendidikan politik agar kita lebih paham sebab keterlibatan kita lebih banyak karena hubungan emosional”, imbuhnya.
Secara pribadi, Litelnoni sadar kalau sebagai pemimpin gereja dirinya harus bersikap netral. “Walaupun kakak kandung saya juga ikut Pilgub nantinya, saya bilang kepada teman-teman Pendeta untuk didoakan, tetapi kita tidak boleh terlibat jauh karena akan mencederai semua yang baik”,  tegasnya.
Menurut dia, pendidikan politik dirasanya sangat penting diberikan kepada para pendeta. Sebab, para fungsionaris gereja selama ini tidak mendapat pendidikan politik yang memadai, lebih pada pendidikan teologi. (*)
 

Tidak ada komentar: